Bismillahirrahmanirrahiim. Assalamu’alaykum kawan narablog.
April 2019, Pak Suami yang merantau menjadi TKI mendapatkan jatah cuti untuk liburan bersama keluarga. Beliau menawarkan akan jalan-jalan kemana kah kami? Setelah berpikir-pikir dan diskusi, aku dan Pak Suami sepakat akan melakukan mini roadtrip ke Garut, Jawa Barat. Hasil penelusuran dan berselancar di internet, akhirnya pilihan jatuh pada Pantai Santolo. Tujuan utama sebenarnya hanya kesini saja, namun rasanya sayang kan, kalo perjalanan fokus pada satu lokasi saja. Kami pun mulai lirak-lirik lokasi wisata di Garut yang belum pernah kami kunjungi.
Baca juga: https://novya.id/cangkuang-punya-cerita/
Rute awal yang kami susun adalah ke Pantai Santolo via Pangalengan. Kakak usul pengen ke Gunung Papandayan. Okeh, semua dimasukan list dahulu. Hasil akhir tujuan wisata hasil rapat keluarga ada 2 lokasi utama yaitu Gunung Papandayang dan Pantai Santolo. Tetap masih sesuai dengan rute yang disusun yaitu Bandung-Pangalengan-Rancabuaya-Pantai Santolo-Kota Garut-Gunung Papandayan-Bandung. Kami rencanakan perjalanan ini 3 hari 2 malam dengan menginap di salah satu hotel di Kota Garut.
Perjalanan hari pertama dimulai
Sabtu, 20 April 2019. Pak Suami baru sampai di rumah pada hari Jumat pukul 12 malam. Hal ini berpengaruh pada jadwal keberangkatan, kasian kalo kami paksakan, biar Pak Suami istirahat dulu sambil ngobrol dengan anak-anak yang sudah 2 bulan tak bertemu ayahnya. Kami pun memutuskan berangkat pukul 11 setelah Pak Suami merasa sudah fit dan kendaraan sudah selesai diperiksa. Kami berhenti dahulu di Dakota, Gunung Batu karena Adek pengen lihat pesawat di landasan Bandara Husein dan melaksanakan sholat dhuhur di masjid kompleks Dakota.
Rute perjalanan berubah. Loh kenapa? Karena kami berangkat sudah terlalu siang, kalo kami ke Garut via Pangalengan khawatir terlalu malam sampai di Kota Garut. Kami sudah pesan penginapan di Fave Hotel Kota Garut. Akhirnya kami merubah rute, berangkat ke Kota Garut via Kamojang. Biasanya kami ke Garut via Nagrek, kali ini aku minta Pak Suami mencoba jalur baru yaitu via Kamojang, masuk dari Rancaekek lanjut ke Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Kenapa aku mengajak Pak Suami lewat sini? Karena aku pengen melihat Jembatan Kamojang yang keren itu.
Jembatan Kamojang yang Kuning Terang
Jembatan ini megah bercat warna kuning. Desain dari jembatan ini menyerupai Sydney Harbour Bridge Australia dengan panjang jembatan sekitar 100 meter, tinggi 10 meter dan lebar 30 meter. Jembatan ini diberi nama oleh warga sekitar dengan nama Jembatan Cukang Monteng dan kini diberi nama keren adalah KAMOJANG HILL BRIDGE. Jembatan ini menghubungkan Jalan Cukang Monteng di Majalaya dengan Kamojang di Garut. Cukang Monteng ini terkenal juga dengan tanjakan ekstrimnya dimana pengguna jalan harus ekstra hati-hati sekali terutama rem kendaraan.

Melihat desain dari Jembatan Kamojang ini, aku langsung teringat akan teori kuliah S1 dahulu tentang Metode CREMONA. Konsep Cremona digunakan untuk menghitung gaya-gaya batang pada struktur jembatan.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang
Selepas dari pesona Jembatan Kamojang ini, kami melanjutkan perjalanan memasuki kawasan PLTP Kamojang. Setelah melewati jalan berbeton yang kanan kiri masih asri sekali dengan pepohonan khas hutan tropis, kami dihadapkan pada sebuah bangunan besar yang bertuliskan “Pertamina dan Indonesia Power”. Hmmm, bangunan apakah ini? Oh, ternyata cerobong dan jaringan kabel yang merupakan bagian dari sebuah pembangkit listrik. Yup, kami memasuki kawasan Geothermal dimana panas bumi diolah menjadi sumber tenaga listrik. Sepanjang jalan kita akan melihat jaringan pipa-pipa raksasa untuk mengalirkan panas bumi.

Panas bumi merupakan salah satu sumber energi yang dapat diperbarui dan ramah dengan lingkungan. Nah, di Kamojang ini ternyata banyak sekali tersimpan sumber energi ini gaes. Disini seperti ada hubungan segitiga gitu (bukan cinta segitiga ya gaes), tapi segitiga sumber panas bumi yaitu Drajat, Kamojang dan Kawasan Kawah Putih. Kalo dilihat dari letak bukitnya, ya emang tetanggaan banget mereka hanya beda lereng aja. Sewaktu melewati pipa-pipa raksasa ini, aku membayangkan kalo ada kebocoran gaes (waduh). Kebayang kan panas bumi dengan suhu di atas 100 derajat Celsius menyembur keluar, kulit bisa melepuh. Untuk itu kawasan ini benar-benar menjadi perhatian utama tim K3 kedua perusahaan disana.
Kawah Kamojang di balik Hutan Tropis yang rimbun
Awalnya kami hanya melintas saja, namun sempat terbaca sebuah papan bertuliskan “Kawah Kamojang”. Eits, akhirnya minta Pak Suami memundurkan mobil lagi. Aku coba berselancar dulu untuk melihat ada tempat wisata apakah disini? Beruntung kami tidak buru-buru, dikarenakan sudah menjalankan sholat Ashar di masjid dekat Jembatan Kamojang, jadi tenang gaes. Setelah berselancar, ternyata di sekitar pipa-pipa raksasa ini terdapat tempat wisata Kawah Kamojang. Okay Pak, kita kunjungi pak, tanggung dah sampai Garut dan di depan pintu gerbang Kamojang pula, masak ya dilewatkan begitu saja, penasaran dan sayang kan. Gak enak meninggalkan sesuatu dengan rasa penasaran kan? hehehe
Kami menyusuri pipa-pipa raksasa tadi dan menemukan pertigaan. Kami belok ke kanan dan melihat pintu gerbang dengan tulisan “SELAMAT DATANG DI KAWASAN TWA KAWAH KAMOJANG KABUPATEN BANDUNG”. Lah ternyata Kamojang ini berada di wilayah Kabupaten Bandung gaes (daerah perbatasan sepertinya). Kami disambut ramah oleh pak penjaga pintu dan ditanya “berapa orang bu?”. Adek tidak dihitung ternyata, jadi kami hanya dihitung bertiga saja. Waktu sudah menunjukan pukul 4 sore namun suasana sedikit berkabut jadi ya rada-rada gelap horor gitu lah, yah namanya juga di kawasan hutan gaes.

Disambut oleh Kawah Manuk yang hitam
Tak jauh dari pintu gerbang masuk, kita akan bertemu dengan papan tulisan besar “KAWAH MANUK KAMOJANG”. Di samping papan terdapat pagar tadi kecil banget. Nah, melihat kawah manuk ini, aku langsung ingat dengan Bledug Kuwu atau Lumpur Porong Sidoarjo sana. Kawah ini posisinya rata dengan jalan dan berupa lumpur hitam yang meletup-letup seperti bubur yang sedang dipanaskan di atas kompor. Kawah ini terlindungi pepohonan namun suasananya rada-rada gimana gitulah (bisa jadi karena memang sudah sore dan berkabut). Kami berhenti sebentar untuk mengabadikannya.

Dari beberapa sumber bacaan yang kubaca, katanya kawah ini dinamakan Manuk karena kawah ini menimbulkan bunyi seperti bunyi manuk (burung). Sayangnya aku tak begitu memperhatikannya gaes, nanti apabila kalian berkunjung kesana, coba deh diperhatikan yak.
Kawah Kereta Api yang berisik
Kami melanjutkan perjalanan dan mendapati sebuah bangunan bekas pintu gerbang. Oh, mungkin pintu gerbang yang di depan tadi sebelumnya terletak disini gaes. Tak jauh dari lokasi bangunan itu terdapat lahan parkir yang cukup luas, disampingnya terdapat warung-warung dan mushola. Di lokasi sekitar lahan parkir itu juga terdapat kantor Pusat Informasi (sayangnya kami terlalu sore sehingga sudah tutup) dan beberapa kawah-kawah kecil. Sesampainya di lahan parkir sedikit turun gerimis, tidak terlalu deras sehingga kami tetap meneruskan ekspedisi kami di kawasan tersebut.
Terdengar suara bising yang ternyata itu berasal dari sebuah lubang yang diberi pagar pengaman. Tertera di papan yang terletak tak jauh dari lubang itu “KAWAH KERETA API”. Yup, memang dari lubang itu keluar asap putih yang menjulang dengan bunyi seperti bunyi asap kereta api. Kawah kereta api ini ternyata adalah bekas sumur pengeboran panas bumi. Identitasnya adalah Sumur Kmj-3 dengan kedalaman 60 meter, dibor pada tahun 1926 pada masa Pemerintah Kolonial Belanda. Sumur Kmj-3 atau Kawah Kereta Api ini merupakan sumur panas bumi pertama yang dibor oleh pemerintah Belanda pada tahun 1926. Sumur ini sampai sekarang masih mengeluarkan uap panas bumi yang mengindikasikan bahwa panas bumi merupakan energi yang berkelanjutan (sustainable energy). Ya iyalah ya, dari tahun 1926 sampai sekarang masih menyembur terus panasnya.

Apa saja yang dapat kita lakukan di kawasan ini?
Kalo bisa berkunjung lebih pagi, pastinya bisa berpetualang lebih seru niy disini. Kawasan Kawah Kamojang ini cukup luas dan ada beberapa kawah didalamnya. Nah, apa saja niy yang bisa kita lakukan di kawasan ini?
- Mengenal kawah. Di kawasan ini terdapat beberapa kawah, yaitu Kawah Manuh, Kawah Kereta Api, Kawah Hujan, Kawah Sekarat, Kawah Berecek, Kawah Cikahuripan, Kawah Cibuliran.
- Mengetahui manfaat kawah. Dari beberapa sumber kuperoleh bahwa disini juga terdapat tempat sauna terbuka yang bisa dimanfaatkan pengunjung untuk melakukan sauna (sayangnya kami tidak sampai ke lokasi tersebut)
- Berkemah. Nah, pada saat kami berkunjung kemarin, kami melihat ada keluarga yang mendirikan tenda di sekitar lokasi kawah. Sepertinya bisa loh berkemah disini.
Selain itu ada beberapa tips yang harus kita persiapkan ketika berkunjung disini.
- Jangan lupa bawa payung. Ya karena lokasinya dinaungi pepohonan lebat, bisa saja sewaktu-waktu gerimis ketika kabut turun.
- Bawa baju yang nyaman. Udara siy tidak terlalu dingin tapi baju hangat boleh juga dibawa.
- Bawa bekal makanan. Ini buat jaga-jaga kalo lapar ya gaes karena warung yang ada di sekitar lahan parkir mayoritas berjualan mie instan.
Ada cerita legenda disini
Indonesia gitu loh gaes, semua daerah mempunyai cerita legenda. Nah, cerita legenda yang ada di kawasan ini adalah cerita tentang Si Mojang atau Si Gadis. Si Mojang ini tinggal bersama kedua orang tuanya di kawasan ini. Si Mojang menolak dinikahkan dengan lelaki tua beristri lima dan lari ke hutan. Berbagai upaya pencarian dilakukan namun tak membuahkan hasil. Lokasi hutan menghilangnya Si Mojang ini akhirnya diberi nama KAMOJANG. Kalo sejarah tentang PLTP dapat dibaca disini ya gaes.
Nah, itulah petualangan kami di hari pertama dalam rangkaian miniroadtrip ke Swiss Van Java alias Garut gaes. Penasaran sama Kawah Kamojang, segera berkunjung kesana ya! Bisa via Rancaekek dan bisa juga melalui Samarang Garut. Okay, sampai bertemu di cerita kami selanjutnya ya.
Alhamdulillah, Wassalamu’alaykum.
Kamojang Hill Bridge Kawah Kereta Api
waah ada cerita legendanya juga, keren… terus gimana kabarnya si teteh Kamojang yaa…
nah itu teh, ilang entah kemana hehehehe
Sering banget ke sini kalau mau ke Garut karena rumahku di Majalaya hehe.
Btw kata teman ibuku, setiap malam di sekitar jembatan kuning itu selalu ada suara kereta kencana. Wallahu a’lam yaa 😀
weeeheeeeee….iya kah teh?
Bagus banget harus dinoted ini tempat wisata edukasi dan murah tapi nggak murahan
bener banget..suka niy qoutenya “murah tapi gak murahan”
Wah, saya juga punya saudara di Garut. Ke sini belum pernah malah dari dulu paling ke Cipanas aja seringnya. Bagus, ya, Kamojang .Tiket masuknya juga murmer
Nah, besok kalo ke Garut mampir kesini mbak hehehe
Aku pernah 1 x kesini teh wakru libiran sama keluaega beberapa bulan lalu.. emang bagus pemandangannya dan udaranya yaa
masih segar ya mbak dan banyak pepohonan
Sejujurnya aku ke Garut baru sekali, itu juga ngga kemana2 cuma di rumah aki. Jadi pengen kesana lagi deh 🙂
hayuk mbak, ke garut lagi
penasaran sama PLTP-nya nih. di sana dijelasin nggak sih tentang proses terbentuknya listrik dari panas buminya sendiri?
nah, ini kudu masuk ke lokasi PLTP mbak coz di kawah kemarin kantornya udah tutup
Wahh, jadi ingat dodol.Garut, mbak 🙂
Masya Allah, saya baru sadar ternyata sustainable energy macam PLTP itu sudah berpuluh-puluh tahun ya adanya. Betapa Allah menciptakan bumi & semua isinya untuk hal² yg sangat bermanfaat.
iya mbak, aku pun juga baru tahu pas baca-baca referensi dari Indonesia Power
Wah…. seru juga nih mba main ke garut. Masukan list ah, barangkali bisa berkunjung ke sini.
siaaap mbak 🙂
Aq ke Garut udh 2x mb tp blm pernah ke Kawah Kamojang. Smg suatu saat bisa ya. Aamiin..
aamiin 🙂
Keren Teh Novya halan halannya. Makasiiy
sama-sama mbak 🙂
Wahh, kamojaaang… aku pernah jadi asprak pas kuliah dan camping disana selama 11 hari mbaaa. Daaann, pulang-pulang hidungku langsung gosong wkwkwk. Btw, ini tempatnya oke bangettt lho! Tapi banyak anu-anunya kalau kata warga setempat, ehhh. Hahaha, mitos aja ya mba.
loh kok yang gosong hanya hidung doang mbak? hehehehe. Iya mbak, suasananya tuh rada-rada bikin merinding gitu, semacam ada misteri (halah, mungkin karena hutan ya mbak)