Bismillahirrahmanirrahiim. Assalamu’alaykum kawan narablog?
Hai, hola kawan semua, apa kabar? Semoga selalu baik yang di mana pun kalian berada. Hati-hati selalu ya dan jangan lupa akan protokol kesehatan. Seharusnya siy hari ini aku mau cerita tentang catatan-catatan perjalanan kami, namun rasanya itu untuk minggu depan saja ya. Kali ini mau melanjutkan cerita tentang LDM. Di cerita ku sebelumnya, aku menceritakan tentang proses pembuatan visa kerja dan visa ijin tinggal. Nah, setelah visa jadi, kami harus berdiskusi kembali untuk memutuskan sebuah keputusan penting “Apakah kami akan selalu bersama” atau “Apakah kami akan berpisah sementara waktu?”. Maksudnya apa niy? Sabar ya, ikuti cerita kami 😁
“Hidup merupakan rangkaian dari pilihan. Lalu, apa pilihanmu?”
Pak Suami mendapatkan kesempatan untuk membawa keluarga tinggal di Melbourne dan mendapatkan biaya untuk pengurusan kepindahan keluarga sekali keberangkatan. Kami masih berpikir lagi, keputusan apa yang kami ambil.
Kami pun memilih LDM
Hasil diskusi ringan dengan duo fajar pada akhirnya memilih untuk LDM (Long Distance Married). Ya, itulah pilihan kami. Pak Suami tinggal sendiri di Melbourne, Aku dan anak-anak tinggal di Bandung. Berat keputusan ini kami ambil. Kondisi waktu itu Kakak sudah kelas 5 SD dan setahun lagi akan lulus. Kami memikirkan di kala kakak harus mempersiapkan ujian nasional, dia pun harus beradaptasi cepat dengan sekolahnya di sana apabila kami pindah. Selain itu Pak Suami juga belum sempat survei sekolah yang tepat buat Kakak apabila kami pindah ke Melbourne.
Aku sendiri juga masih memiliki amanah untuk menyelesaikan tugas di kantorku. Pak Suami belum survei banyak selama 8 (delapan) bulan di sana dikarenakan setiap hari sudah berkutat dengan rangkaian tugas dari kantornya. Jadi keputusan 3 tahun lalu untuk LDM kami pilih. Waktu itu kami berpikir, keputusan saat ini adalah itu, entah nanti gimana ke depannya? Apakah tetap atau nantinya ada perubahan.
Pertimbangan kami memilih LDM
Selain kondisi di atas, ada beberapa hal yang mendasari keputusan kami untuk LDM, yaitu:
#Harus memenuhi kebutuhan 3 (tiga) rumah
Ketika kami meninggalkan Bandung dan berkumpul di Melbourne, maka akan ada 3 (tiga) rumah yang harus kami penuhi kebutuhannya. Rumah baru kami di Melbourne, di Bandung dan di Solo. Saat ini 2 (dua) rumah yang menjadi tanggung jawab kami. Apabila aku mengikuti Pak Suami, kemungkinan besar aku belum bisa bekerja karena harus mendampingi anak-anak beradaptasi. Penghasilan hanya 1 yaitu dari Pak Suami. Gajinya memang dollar, namun biaya hidup di Melbourne itu tidak murah.
Status Pak Suami yang temporary worker juga berpengaruh. Hal ini berdampak pada sekolah anak-anak yang tidak mendapatkan subsidi dari Pemerintah Australia. Kondisi ini berbeda dengan apabila status Pak Suami adalah Permanent Resident (PR) atau seorang mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Australia. Gaji Pak Suami setengahnya akan habis untuk urusan sekolah anak, belum lagi dengan biaya hidup di sana. Selain itu ada kebutuhan rumah Bandung dan rumah ortu di Solo yang menjadi tanggungan kami.
Rasanya, aku sendiri pun tak tega melihat beban yang dipikul Pak Suami. Akhirnya ini menjadi dasar utama, kami memilih LDM. Dipandang hidup enak di negeri orang, namun faktanya hidup serba pas-pasan dan cenderung penuh pikiran.
#Anak-anak belum mau pindah
Waktu 3 tahun lalu, kakak sendiri sewaktu ditanya, dia selalu menjawab “belum siap untuk sekolah di Melbourne”. Kami juga tidak mau memaksakan kehendak ke dia. Khawatir dia akan tertekan dan justru stres. Walo sekarang justru dia selalu semangat pengen bisa sekolah di sana hehehehe. Waktu memang bisa mengubah pendapat bukan? Kalo untuk Adek karena waktu itu baru TK, tidak begitu masalah, dia bisa setiap saat pindah. Soal bahasa sebenarnya justru bagus. Sejak kecil mengenal bahasa akan memudahkan dia untuk lebih cepat menguasai bahasa.
#Ada perasaaan orang tua yang kami hargai
Aku masih memiliki orang tua yang lengkap. Beliau berdua selalu bergantung padaku sehingga apapun langkah yang kuambil, perasaan beliau berdua menjadi pertimbanganku. Alhamdulillah, Pak Suami menghargai dan mendukung apa yang kulakukan ini. Ya, sebagai anak sulung, beliau berdua berharap aku masih tetap bekerja karena sebagian besar kebutuhan beliau, aku yang penuhi. Jadi aku tak berani membayangkan, ketika aku mengikuti kepindahan Pak Suami ke Melbourne pastinya aku belum bisa bekerja untuk jangka waktu tertentu. Hal ini akan menjadi pikiran beliau berdua. Ya selama masih bisa membuat senyum pada wajah orang tua kita, mengapa tidak kita lakukan? bukan begitu?
Nah, itulah sekelumit pertimbangan mengapa kami memilih LDM. Berat pastinya, insyaAllah akan ada jalan yang indah nanti di depan. Semoga kami segera berkumpul kembali. Aamiin yaa rabb.
Alhamdulillah. Wassalamu’alaykum.
1 thought on “Mengapa Memilih Long Distance Married (LDM)?”