Bismillahirrahmanirrahiim. Assalamu’alaykum kawan narablog.
Hai, halo apa kabar? Sehat selalu kan ya. Semoga ya kawan. Aamiin yaa rabbal’alamiin. Hmmm, aku mo lanjutin lagi ya catatan Long Distance Married (LDM) yang kujalani bersama Pak Suami. Sebelumnya aku udah cerita tentang alasan kenapa kami memilih LDM ini dalam kehidupan kami. Ceritanya di sini. Nah, kali ini aku akan bercerita rasa ketika berjauhan dengan Pak Suami selama 8 (delapan) bulan pertama awal LDM tanpa pertemuan. Bagaimana rasanya? Sakit, sedih, gak jelas, nano-nano lah pokoknya.
Pendewasaan sikap di kala berjauhan
Setiap dua bulan kami bertemu ketika beliau ada penugasan
Ini bukan kali pertama aku berjauhan dengan Pak Suami. Di awal pernikahan dulu, aku sudah pernah ditinggal beliau tugas ke Perancis selama 1 bulan dalam kondisi hamil tua usia 8 bulan. Kemudian ketika Kakak usia 5 bulan, beliau bertugas lagi ke Singapura selama 7 bulan. Ketika kakak usia 5 tahun, beliau pun ditugaskan dari kantor ke Melbourne selama 2 tahun. Namun dalam tugasnya, beliau diberi jadwal untuk pulang setiap 2 bulan sekali dan tinggal di Bandung selama 1 minggu. Ya rasanya tidak terlalu berat untuk berjauhan dengan beliau selama 2 bulan. Hal ini dikarenakan setiap 2 bulan kami ada harapan untuk melepas kangen berkumpul di Bandung.
Namun, kepindahan kerja Pak Suami di Melbourne pada tahun 2018 lalu beda, kenapa?
Status Pak Suami saat itu adalah pegawai baru dengan masa kontrak, yang artinya belum menjadi pegawai tetap. Selama menjadi pegawai kontrak, beliau tidak diijinkan pulang ke Indonesia. Masa kontrak di awal adalah selama kurang lebih 6 bulan. Beliau berangkat ke Melbourne di bulan Mei, tepat 1 minggu sebelum puasa ramadhan. Sudah terbayang di depan mata bahwa ini akan menjadi ramadhan entah keberapa kami berjauhan. Posisi berjauhan saat ini, kami sudah memiliki duo fajar junior. Artinya, aku harus menjadi pegangan kedua fajar junior ini di kala Sang Ayah jauh dari mereka. Aku si anak sulung yang biasa dari kecil diajarkan mandiri dan tidak manja akhirnya memang harus mempraktekan sikap itu dalam keseharianku. Pak Suami bilang “Kemungkinan tahun ini, ayah gak pulang karena ada masa kontrak 6 bulan dengan ketentuan tidak boleh pulang ke Indonesia”. Ya mau bagaimana lagi, harus siap bukan?
Menyempatkan pulang hanya dua malam demi merayakan lebaran bersama
Kami sudah pasrah untuk merayakan lebaran tanpa kehadiran Pak Suami di tengah-tengah kami. Seminggu menjelang lebaran, Pak Suami memberi kabar bahwa beliau akan pulang langsung menuju Solo. Lebaran tahun 2018 lalu jatuh pada hari Jumat, 15 Juni 2018. Pak Suami bilang akan berangkat dari Melbourne hari jumat pagi dan sampai di Bandara Adi Sucipto, Jogja hari jumat sore. Kemudian akan kembali ke Melbourne pada hari Minggu pagi. Solo-Melbourne sudah diibaratkan Bandung-Jakarta demi memenuhi rasa kangen dan ingin bisa berkumpul dengan istri dan anak serta orang tua di hari lebaran. Setelah itu, Pak Suami tidak bisa pulang hingga jadwal kepulangannya yaitu pada bulan Desember 2018. Alhamdulillah, kabar gembira sudah kami terima di mana Pak Suami sudah diangkat menjadi pegawai tetap di bulan Oktober 2018. Seharusnya beliau sudah bisa mendapatkan ijin pulang ke Indonesia. Namun Pak Suami ingin menuntaskan hingga akhir tahun dengan harapan kami bertiga bisa diajak berlibur ke Melbourne. 😁
Bertahan untuk kuat demi anak-anak
Apa yang kurasa ketika berjauhan dengan Pak Suami selama 7 bulan tanpa pertemuan? Bulan pertama masih kuat, bulan kedua mulai sedikit goyah, bulan ketiga mulai goyah (secara emosi), bulan keempat mulai merasa sendiri, bulan kelima mulai sering menangis, bulan keenam mulai kurang fokus, dan bulan ketujuh rasanya pengen banget menyusul. Lalu apa yang aku lakukan agar bisa bertahan kuat walo berjauhan tanpa bertemu?
- Meluruskan niat. Ketika rasa galau dan goyah muncul, Pak Suami selalu mengirimkan link tausyiah yang mengingatkan diriku untuk selalu meluruskan niat dan selalu berpikir positif. Setiap aku curhat kegalauanku, Pak Suami selalu menjawab dengan siraman rohani yang menyejukan hati.
- Selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pak Suami selalu mengingatkan, beliaupun juga sering galau dengan hantaman rasa kangen dengan istri dan anak-anak, namun tidak boleh hal ini sampai menjauhkan diri kita kepada Sang Khalik. Ketika resah hadir, langsung tarik diri untuk semakin mendekat kepada Allah SWT.
- Memperkuat komunikasi dengan Pak Suami. Intensitas komunikasi semakin dipersering. Media dilakukan melalui chat whatshapp, skype, hangout/google messenger, telepon. Apapun dilakukan agar komunikasi tidak kosong setiap harinya.
- Mencari kegiatan untuk menghalau pikiran buruk. Aku pun mengisi hariku selain bekerja di kantor, aku juga mengikuti komunitas. Hal ini kulakukan agar ada kegiatan yang kulakukan sehingga dapat mengurangi waktu atau ruang kosong pada diriku. Dan ini cukup ampuh untuk menghalau resah. Aku pun jadi lebih aktif menulis di Blog dan kegiatan lainnya.
Nah, itu dulu ya ceritanya, insyaAllah nanti disambung lagi 😄
Alhamdulillah, Wassalamu’alaykum.
Hiks, terharu. Jadi ingat masa-masa LDR-an. Ngerasain banget gimana rasanya. Komunikasi memang jadi sangat penting. Jangan sampai kosong. Biar tetap merasakan kehadirannya ya Mba.
Pasti berat ya mba ngejalanin LDM bareng suami, tapi intinya saling percaya satu sama lain dan jangan miss komunikasi aja.
Karena sewaktu masa penjajakan (pacaran) pasti udah dibicarakan dan tau konsekuensinya dari pekerjaan suami, semoga sabar menjalaninya mba. Insya Allah selalu menjadi keluarga yang SAMAWA
Saya juga pernah ngalaman LDM. Memang banyak warna warni LDM yang hanya diketahui oleh mereka yang menjalaninya. Satu yang penting selama LDM adalah komunikasi. Jangan pernah putus komunikasi, ya.
Belum bisa membayangkan sepenuhnya, tetapi mencoba memahami betapa tak mudahnya LDM apalagi dengan anak-anak. Ibu dan suami hebat. Terima kasih telah berbagi tips-nya, bu. Rasa saling percaya dan komunikasi yang tek terputus menjadi kunci ya bu?
MasyaAllah, rindu itu emang berat ya Mbak.. syukurnyaa Pak Suaminya bisa selalu membuat hati jadi tenang kembali ya dengan mengingatkan agar selalu dekat pada Allah ya.
Ya Allah mbaa..mgkin sya belum sekuat mbak kalau menjalani LDM. 8tahun menikah selalu sama sama terus.
Maa syaa Allaah benar2 perjuangan banget ya kalau menjalani LDM apalagi antar negara gitu. Kalau saya LDM cuma antar kota aja, itu aja udah berat banget. Tapi paling berat itu pas masa2 masih pengantin baru hehe
Salut banget dengan Pak Suami ya Mbak karena bisa memotivasi Mbak Novya, meski beliau juga galau.
Mbak Novya juga hebat karena mampu menjalani semuanya bersama buah hati tercinta.
Semoga dimudahkan Allah berkumpul lagi, ya.
Wow, 7 bulan mbak?
Hadudududu… Aku ngebayangin diriku sendiri kok mules. Jangankan 7 bulan, 2 hari aja aku oleng.
Ini juga sih yang bikin aku kaya sebisa mungkin nggak jauh dari suami. Ampun dah. Nggak kuat.
Tapi, kan nggak semua kondisi bisa terus ngintil sama suami juga. Ada kalanya harapan dan realita tak sejalan. Akhirnya harus LDM juga.
Mau ngeluh ya gimana lagi. Semangat mbaaak..
LDM selama beberapa bulan, duh rasanya nggak kebayang Mbak. Biasanya bersama terus jauh, bakal banyak rasa di hati. Memang sih, sekarang digital sudah berkembang pesat, jadi komunikasi tetap bisa terus optimal. Hati juga bisa saling terjaga.